Perang Media didalam Kasus Pulau Sipadan-Ligitan
Media merupakan sarana yang digunakan oleh kedua belah pihak dalam
berkomunikasi. Banyak pihak yang terlibat di dalamnya. Baik reporter maupun
jurnalis juga berperan dalam mengikuti suatu kasus ini hingga selesai. Tetapi,
media juga dapat membentuk perspektif masyarakat. Bahkan media bisa
mempengaruhi pikiran masyarakat. Hubungan antara Indonesia dan Malaysia memang
beragam. Tidak selalu berjalan dengan mulus, bahkan sering terjadi permasalahan
di antara kedua belah pihak mengenai asal suatu tradisi. Banyak sekali yang
diakui Malaysia bahwa tradisi tersebut berasal dari Malaysia seperti batik,
Reog Ponorogo, rendang hingga salah satunya yang akan saya bahas adalah Pulau
Sipadan dan Ligitan.
Pulau Sipadan-Ligitan menjadi objek sengketa internasional diantara
Indonesia dan Malaysia. Karena Pulau Sipadan-Ligitan ini sama-sama diakui hak
kepemilikannya oleh kedua negara tersebut. Pulau Sipadan mempunyai luas 10,4 ha
dan terletak 15 mil laut atau sekitar 24 km dari Pantai Sabah, Malaysia dan 40
mil laut atau sekitar 64 km dari pantai Pulau Sebatik, Indonesia. Sedangkan
Pulau Ligitan dengan luas 7,9 ha terletak sekitar 21 mil laut atau sekitar 34
km dari Pantai Sabah, Malaysia dan 57,6 mil laut atau sekitar 93 km dari pantai
Pulau Sebatik. Kasus ini mulai muncul sejak 1969 ketika Tim Teknis Landas
Kontinen Indonesia-Malaysia bertemu dan mendiskusikan mengenai batas dasar laut
antar kedua Negara. Pada peta Malaysia, terlihat Pulau Sipadan-Ligitan merupakan
bagian dari wilayah Indonesia, tetapi kedua pulau tersebut tidak tertera pada
peta yang menjadi pedoman dari Tim Teknis Indonesia. Akhirnya, Indonesia merasa
berkepentingan untuk mendapatkan hak kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan.
Dicarilah dasar hukum, fakta dan bukti lainnya yang dapat mendukung kepemilikan
pulau tersebut. Tetapi, disaat yang sama, Malaysia juga mengklaim bahwa Pulau
Sipadan-Ligitan merupakan miliknya dengan berbagai bukti dan fakta yang ada.
Akhirnya, kedua negara sepakat agar kedua pulau tersebut dalam “status quo”. Akhirnya
pada tahun 1992, kedua negara merasa harus menyelesaikan masalah ini secara
bilateral yang diawali dengan pertemuan pejabat tinggi kedua negara. Tetapi, hasil
pertemuan pejabat tinggi negara ini tidak membuahkan hasil. Namun, secara
diam-diam, Malaysia membangun resort pariwisata yang dikelola pihak swasta
Malaysia. Malaysia memahami status quo sebagai kedua pulau tersebut tetap
berada di bawah Malaysia hingga persengketaan selesai, sedangkan Indonesia
memahami status quo sebagai kedua pula tersebut tidak boleh ditempati atau
diduduki sampai persoalan atas kepemilikan dua pulau ini selesai. Kasus ini pun
akhirnya dibawa ke Mahkamah Internasional dan dimenangkan oleh Malaysia.
Banyak sekali perang media yang biasanya melalui berita mengenai kasus
ini. Apabila kita melihat dari sudut
pandang media di Indonesia, jelas sekali bahwa media mempengaruhi
masyarakat Indonesia, sehingga kita yakin sekali dan mendukung bahwa Pulau
Sipadan-Ligitan bukan lain adalah milik kita, karena masih dalam batas zona
laut Indonesia (see: http://www.tribunnews.com/nasional/2010/08/30/inilah-kesalahan-fatal-malaysia-atas-indonesia). Media di Malaysia pun begitu. Pasti mereka akan meyakinkan
masyarakatnya bahwa Pulau Sipadan-Ligitan adalah milik Malaysia, bukan milik
Indonesia. Pada saat itu, banyak sekali provokasi-provokasi yang terjadi
melalui media di antara kedua negara tetangga tersebut. Bahkan, media Indonesia
juga dituduh provokatif terhadap Malaysia. Salah satunya, menurut media, alasan
Indonesia kalah dari Malaysia karena Malaysia diuntungkan dengan change of title yang menyatakan kedua
pulau itu lebih banyak dikelola orang Malaysia. Berita tersebut membuat pembaca
berpikir bahwa Malaysia bisa dikatakan curang karena mencuri start dengan
membangun resort pariwisata disana. Ada juga pembaca yang mungkin terprovokasi
oleh media hingga berdampak terhadap sebutan Malaysia yang disebut ‘Maling sia’ (see: http://www.bbc.com/indonesia/majalah-40996111) karena seringnya mengambil hak kepemilikan suatu ciri khas Indonesia. Hal ini
mengakibatkan kemarahan warga Malaysia yang menyebabkan mereka membenci
Indonesia. Karena perang media tersebut, akhirnya membuat hubungan diantara
kedua negara ini memanas dan cukup bersitegang. Terlihat sekali bahwa peran
media dalam membuat berita, dapat mempengaruhi pikiran dan pendapat pembacanya.
Oleh karena itu, sebagai pembaca juga harus bisa lebih pintar dalam
menafsirkan suatu berita (see: http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/17/09/20/owkpya368-media-berperan-dalam-hubungan-indonesiamalaysia). Para pembaca juga dituntut untuk bisa lebih ‘smart’
dalam memahami suatu berita. Karena media bisa membuat suatu berita menjadi
menarik, sesuai dengan keinginan mereka, dengan tujuan agar berita mereka
banyak dibaca pembaca. Mereka bisa memutarbalikan fakta yang ada bahkan
menggunakannya untuk kepentingan mereka sendiri. Walaupun memang wartawan atau
redaksi berkewajiban untuk mengatakannya sesuai dengan fakta yang ada, akan
tetapi tidak dapat ditutupi bahwa mereka bisa membuat cerita sesuai yang mereka
inginkan.
Source:
Foto:
Video:
Berita:
Cyrena,
ReplyDeleteStorynya menarik ya. Juga videonya.
Tp...perang media antara dua negara tsb
di kalimat atau paragraf mana ya?
Baik statement maupun nama medianya :)
Halo Pak,
DeleteSejujurnya, saya sudah mencari ke berbagai sumber. Tetapi tidak ketemu satu pun. Akhirnya saya menuliskannya berdasarkan apa yang pernah saya baca waktu itu. Di paragraf kedua dari bawah, saya memberikan beberapa kasus juga yang serupa. Karena tidak ada satu pun berita yang masih menampilkan kasus tersebut, jadi saya pun juga tidak yakin akan menampilkannya. Semoga jawaban saya ini berkenan ya Pak..